Profil Desa Kepakisan

Ketahui informasi secara rinci Desa Kepakisan mulai dari sejarah, kepala daerah, dan data lainnya.

Desa Kepakisan

Tentang Kami

Jelajahi profil Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara. Temukan potensi agrowisata kentang, keunikan budaya Dieng yakni Ruwatan Rambut Gimbal, serta pesona alam dataran tinggi yang menjadi pusat energi panas bumi dan lumbung pangan strategis di Jawa Tengah.

  • Lumbung Kentang Dieng

    Desa Kepakisan merupakan salah satu produsen utama kentang berkualitas tinggi di kawasan Dataran Tinggi Dieng, menjadi tulang punggung perekonomian lokal.

  • Pusat Pelestarian Budaya

    Desa ini memegang peranan penting sebagai lokasi pelaksanaan tradisi unik Ruwatan Rambut Gimbal, sebuah ritual sakral yang menarik minat budayawan dan wisatawan.

  • Kawasan Strategis Energi dan Agrowisata

    Selain potensi pertanian, Kepakisan menjadi lokasi penting untuk pengembangan energi panas bumi (geothermal) dan memiliki rintisan agrowisata yang potensial untuk dikembangkan.

Pasang Disini

Desa Kepakisan, yang berlokasi di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, lebih dari sekadar pemukiman di ketinggian. Desa ini merupakan salah satu pusat vital yang menopang kehidupan di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Terletak di ketinggian, Kepakisan tidak hanya dikenal sebagai lumbung kentang utama yang memasok kebutuhan pasar regional dan nasional, tetapi juga sebagai penjaga tradisi leluhur yang unik, yakni Ruwatan Rambut Gimbal. Dengan lanskap alam yang subur dan udara yang sejuk, desa ini menjelma menjadi kanvas hidup yang melukiskan potret harmoni antara aktivitas agrikultur intensif, kekayaan budaya dan potensi pengembangan energi terbarukan.

Letak Geografis dan Kondisi Administratif

Secara geografis, Desa Kepakisan terletak di dalam kawasan vulkanik Dataran Tinggi Dieng, pada ketinggian rata-rata di atas 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lokasinya yang tinggi membuat desa ini memiliki suhu udara yang sejuk, berkisar antara 15-20°C pada siang hari dan dapat turun drastis pada malam hari, bahkan mencapai titik beku pada puncak musim kemarau yang memunculkan fenomena embun es atau yang dikenal warga lokal sebagai bun upas.

Wilayah Desa Kepakisan mencakup area seluas 4,25 kilometer persegi (425 hektar). Secara administratif, desa ini berbatasan langsung dengan beberapa desa lain di dalam dan di luar Kecamatan Batur. Batas-batas wilayahnya ialah:

  • Sebelah Utara: Berbatasan dengan Desa Batur dan Desa Dieng Kulon.
  • Sebelah Timur: Berbatasan dengan Desa Karangtengah.
  • Sebelah Selatan: Berbatasan dengan wilayah hutan negara dan Kabupaten Wonosobo.
  • Sebelah Barat: Berbatasan dengan Desa Pekasiran (seringkali terjadi kekeliruan penyebutan antara Kepakisan dan Pekasiran, meskipun keduanya merupakan entitas desa yang berbeda).

Berdasarkan data kependudukan terakhir yang dapat dihimpun, jumlah penduduk Desa Kepakisan mencapai sekitar 2.800 hingga 3.000 jiwa. Dengan luas wilayah tersebut, kepadatan penduduknya berada di angka sekitar 650-700 jiwa per kilometer persegi, menunjukkan tingkat kepadatan yang cukup sedang untuk sebuah desa agraris di pegunungan.

Sejarah dan Asal-Usul Nama Kepakisan

Menurut penuturan para sesepuh dan catatan sejarah lisan desa, nama "Kepakisan" memiliki kaitan erat dengan kondisi alamiah wilayahnya pada masa lampau. Nama ini berasal dari kata "pakis", sejenis tumbuhan paku-pakuan yang dahulu tumbuh subur dan mendominasi vegetasi liar di area tersebut sebelum lahan dibuka secara masif untuk pertanian. Pemberian nama yang didasarkan pada flora endemik semacam ini merupakan praktik umum dalam toponimi masyarakat Jawa kuno.

Dalam perkembangannya, Desa Kepakisan juga tercatat dalam sejarah kelam peristiwa bencana alam di Dieng. Salah satu dusunnya yang dulu makmur, Dusun Legetang, hilang dalam semalam akibat bencana longsor dahsyat pada 17 April 1955. Peristiwa tragis ini menimbun seluruh dusun beserta ratusan warganya dan menjadi pengingat abadi akan kekuatan alam yang membentuk sekaligus mengancam kehidupan di Dieng. Kini, sebuah monumen tugu didirikan untuk mengenang peristiwa tersebut, menjadi saksi bisu dari sejarah duka yang pernah menyelimuti desa ini. Peristiwa ini membentuk karakter masyarakat Kepakisan yang tangguh dan senantiasa waspada terhadap kondisi alam di sekitarnya.

Potensi Ekonomi: Jantung Pertanian Kentang Dieng

Perekonomian Desa Kepakisan secara dominan ditopang oleh sektor pertanian, khususnya budidaya kentang. Tanah vulkanis yang subur dan iklim yang sangat mendukung menjadikan Kepakisan sebagai salah satu produsen kentang varietas Granola L terbesar dan paling berkualitas di Banjarnegara, bahkan di Jawa Tengah. Hampir setiap jengkal lahan yang dapat diolah di desa ini ditanami kentang, menciptakan pemandangan terasering tanaman sayur yang khas di lereng-lereng perbukitan.

Aktivitas pertanian kentang di sini bukan sekadar pekerjaan, melainkan sudah menjadi bagian dari cara hidup. Siklus tanam, perawatan, hingga panen raya menjadi ritme yang mengatur denyut kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Petani di Kepakisan telah berpengalaman secara turun-temurun dalam mengelola lahan, meskipun menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar yaitu fluktuasi harga jual kentang di pasaran yang sangat bergantung pada penawaran dan permintaan nasional. Tantangan lainnya yakni ancaman hama penyakit tanaman dan dampak perubahan iklim, seperti fenomena bun upas yang dapat merusak tanaman dalam semalam.

Untuk mengatasi sebagian tantangan tersebut, kelompok-kelompok tani di Desa Kepakisan aktif berperan sebagai wadah untuk berbagi informasi, teknologi pertanian, serta akses terhadap pupuk dan bibit unggul. Selain kentang, petani juga menanam komoditas hortikultura lain seperti kubis, wortel, dan daun bawang sebagai bentuk diversifikasi tanaman untuk meminimalkan risiko kerugian.

Kekayaan Budaya: Tradisi Ruwatan Rambut Gimbal

Salah satu daya tarik utama dan keunikan yang dimiliki Desa Kepakisan ialah perannya dalam pelestarian tradisi Ruwatan Rambut Gimbal. Fenomena anak-anak dengan rambut gimbal alami atau rambut gembel banyak ditemukan di Dataran Tinggi Dieng, dan masyarakat setempat meyakini bahwa anak-anak ini merupakan titipan dari Kyai Kolodete, salah satu leluhur pendiri Dieng. Rambut gimbal tersebut dipercaya membawa bala atau kesialan, sehingga harus dipotong melalui sebuah upacara ritual yang sakral.

Desa Kepakisan menjadi salah satu pusat pelaksanaan ritual ini. Prosesi ruwatan tidak bisa dilakukan sembarangan. Pemotongan rambut hanya dapat dilaksanakan atas kemauan si anak itu sendiri, yang biasanya ditandai dengan permintaan spesifik sebagai syaratnya. Permintaan ini bisa beragam, mulai dari hal sederhana seperti mainan hingga sesuatu yang sulit dipenuhi, dan orang tua wajib memenuhinya. Upacara ini dipimpin oleh pemangku adat dan melibatkan serangkaian prosesi, mulai dari doa, arak-arakan, hingga penyajian sesaji. Rambut yang telah dipotong kemudian dilarung (dihanyutkan) di Telaga Warna atau sumber air suci lainnya sebagai simbol pengembalian bala kepada alam.

Tradisi ini, yang seringkali menjadi puncak dari perhelatan Dieng Culture Festival (DCF), menarik perhatian luas dari peneliti budaya, fotografer, dan wisatawan domestik maupun mancanegara. Keberadaannya menjadikan Kepakisan tidak hanya sebagai desa agraris, tetapi juga sebagai benteng penjaga warisan budaya tak benda yang bernilai tinggi.

Pengembangan Sektor Pariwisata dan Energi

Berbekal potensi alam, pertanian, dan budaya, Desa Kepakisan mulai merintis jalan menuju pengembangan sektor pariwisata, khususnya agrowisata. Beberapa inisiatif dari kelompok masyarakat dan dukungan dari berbagai pihak mulai terlihat. Program seperti "petik sayur sendiri" di lahan petani menjadi salah satu gagasan yang sedang dikembangkan untuk memberikan pengalaman otentik bagi wisatawan. Keindahan lanskap perbukitan dengan hamparan ladang kentang juga memiliki potensi besar sebagai objek wisata alam dan fotografi.

Di sisi lain, Desa Kepakisan berada di dalam wilayah kerja panas bumi (WKP) Dieng. Aktivitas eksplorasi dan eksploitasi energi panas bumi oleh perusahaan negara seperti PT Geo Dipa Energi (Persero) turut mewarnai dinamika desa. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng Unit 2, yang sebagian sumurnya berada di wilayah Kepakisan, menempatkan desa ini pada posisi strategis dalam peta energi nasional. Kehadiran proyek ini membawa dampak ganda: di satu sisi membuka peluang kerja dan program pemberdayaan masyarakat, namun di sisi lain juga memunculkan tantangan terkait isu sosial dan lingkungan yang perlu dikelola secara bijaksana melalui komunikasi dan kolaborasi yang baik antara perusahaan dan warga.

Tantangan dan Harapan Pembangunan Desa

Seperti desa-desa lainnya di kawasan pegunungan, Desa Kepakisan menghadapi serangkaian tantangan dalam perjalanannya menuju kemajuan. Infrastruktur jalan, terutama yang menghubungkan dusun-dusun terpencil dan lahan pertanian, masih memerlukan perbaikan dan pemeliharaan berkelanjutan untuk menunjang kelancaran transportasi hasil bumi. Ketergantungan yang sangat tinggi pada satu komoditas utama (kentang) juga menjadi kerentanan ekonomi ketika harga anjlok. Oleh karena itu, diversifikasi ekonomi melalui pengembangan agrowisata, industri pengolahan hasil pertanian (seperti keripik kentang), dan sektor jasa lainnya menjadi agenda penting.

Regenerasi petani juga menjadi isu krusial. Banyak generasi muda yang lebih memilih untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian yang dianggap lebih menjanjikan. Mendorong inovasi di bidang pertanian agar lebih menarik bagi kaum muda, misalnya melalui penerapan teknologi pertanian modern (smart farming) dan penciptaan nilai tambah produk, merupakan sebuah keniscayaan.

Meskipun demikian, harapan terbentang luas bagi Desa Kepakisan. Dengan semangat gotong royong masyarakat yang masih kuat, kekayaan alam yang melimpah, serta warisan budaya yang tak ternilai, desa ini memiliki fondasi yang kokoh untuk berkembang. Sinergi antara pemerintah desa, masyarakat, pihak swasta (seperti PT Geo Dipa Energi), dan akademisi dapat menjadi kunci untuk membuka potensi-potensi yang ada, mewujudkan Desa Kepakisan yang tidak hanya sejahtera secara ekonomi, tetapi juga mandiri, berdaya saing, dan tetap teguh memegang kearifan lokalnya di tengah arus modernisasi.